Bangsaku Bangsa Budak



Bangsaku Bangsa Budak

Zaman komunal primitive..
Zaman perbudakan…
Zaman tuan tanah dan para raja… permodalan….
Lalu..
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal – hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya “.
Jakarta 17 – 08 – 1945.
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno – Hatta.
Di tiap – tiap periode ada hari, bulan, tahun, yang silih berganti. Begitu banyak perjalanan dari negeri ini, baik yang tercatat dan yang hilang diterpa masa. Manusia dari tiap – tiap periode lah yang membikinnya. Dan sejarah terbentuk. Dikumpulkan dari putaran masa, dan dari situ generasi belajar mengenal akar dan asalnya.
…. Indonesia tanggal 19 juli 2011. Disebuah desa…
Masih cerah seperti biasanya. Kadang – kadang saja turun hujan dengan tak terduga. Cuma hujan biasa, cukup untuk memberikan efek sejuk kepada tanah. Angin juga masih berhembus seperti biasa menggerakkan batang pohon, dedaunan, debu, hingga rok para murid perempuan di sekolah itupun bila angin berbaik hati mau sedikit kencang.
Rumahku yang berada di ujung desa masih lah sama sejak aku dilahirkan. Hanya ada pembetulan di sedikit bagian. Sawah – sawah pun masih ditanami padi. Hanya saja harga tanah makin mahal dan sawah terus saja kurang dan terus berkurang karena proyek pembangunan negeri. Namun menjelang tengah hari suasana berubah, sebab baru saja turun kabar bahwa nanti malam akan diadakan pagelaran wayang kulit di depan pelataran rumah kepala desa untuk hajatan putranya yang baru di sunat. Tentu saja kabar ini disambut dengan antusias masyarakat. Tak terkecuali keluarga si Hasan. Remaja berkulit hitam kecoklatan yang sekarang duduk dibangku SMP ( sekolah menengah pertama ).
Hasan baru saja pulang dari sekolah saat kabar tentang pagelaran wayang itu datang. Kepalanya pusing sehabis mendapatkan penjelasan tentang sejarah Indonesia. Dan sehabis puas menjelaskan, sang Guru memberikan tugas merangkum tentang asal usul keluarganya. Meski kabar yang datang terdengar menyenangkan di telinga ayah, Hasan tidak peduli. Di pikirannya yang ada hanya tugas dari sang Guru selesai tepat pada waktunya. Kebingungan melanda pikirannya, dan Internet pun tak akan banyak membantu. “ Ayah dan ibu mungkin bisa membantu “ gumamnya.
Setelah ada waktu luang, setelah ditanya, maka ayah pun mulai bercerita, Nenek moyangmu itu adalah manusia – manusia yang berasal dari bangsa Jawa yang luhur, berbudi, makmur dan paling beradab. Bangsa yang melahirkan raja – raja hebat, sebut saja Parikesit, Jayabaya, Raden Wijaya, Raden Patah, dan dalam darah mbah – mbah mu itu mengalir pula darah mereka demikian juga denganmu. Maka kau haruslah bangga. Mbah buyutmu yang bernama K. Abdurrahman dan R.A Salma itu masihlah keturunan dari Arya Wiraraja yang masih kerabat dengan Majapahit. Kalau gurumu itu tak percaya suruh dia datang ke Asta Tinggi, nanti bakal dia tau silsilah keluargamu yang luhur ini. datangi juga Nenekmu itu biar rangkumanmu itu lebih lengkap.
Hasan bingung untuk kedua kalinya. “ Apakah benar yang dikatakan oleh ayah atau itu hanya cerita dongeng belaka?“ gumamnya. Rupanya kebingungannya merayap bersamaan dengan datangnya malam.
Suara gamelan dari rumah kepala desa terdengar sampai kamar Hasan. Halus meraba sampai telinga. Dan di saat itu pula ibu memanggil. Keluar ia dari dari kamarnya dan mendapati ibu bersama nenek Tijah sedang berbincang – bincang. Hasan pun menghadapnya dan beliau bertanya “ Tadi ayahmu menghubungi nenek, katanya engkau ingin mendengar cerita tentang leluhurmu dari orang tua ini, benar Hasan ? “ Tanya nenek. Hasan hanya bisa mengangguk. Namun sebelum nenek bercerita beliau bertanya pada Hasan “apa yang sudah ayahmu ceritakan padamu tentang leluhurmu, coba ceritakan pada nenek”. Maka Hasan pun mulai bercerita.
Setelah mendengar Hasan bercerita, nenek Tijah bertanya “ setelah mendengar cerita ayahmu, banggakah engkau?” Dan Hasan mengangguk. Dan beliau hanya tersenyum.
Apa yang bisa engkau banggakan dari bangsa yang kalah nak. Tidak ada. Kekalahan itu bukan untuk ditutupi dan dibanggakan. Apa itu segala yang luhur dan agung dibawa – bawa. Segala kemenangan, kemakmuran, keluhuran, tak datang dari langit, tapi diperjuangkan.
Ketahuilah nenek moyangmu adalah bangsa petani yang selalu di jajah oleh bangsa sendiri dan oleh bangsa lain. Yang kalah menjadi budak dan yang menang menjadi tuannya. Jadi apakah kau masih bangga menjadi keturunan bangsa budak? Saat bangsa utara mulai menancapkan bendera penindasan di negeri kita, moyangmu masih juga bertahan hidup dan menjadi pembantu dari mereka. Tanyailah kenapa leluhurmu masih menyandang gelar Bendoro Said, ketika Belanda menguasai negeri ini? Mulailah leluhurmu menjadi budak dari bangsa asing. Itulah mengapa sebabnya ayahku sendiri menjadi Kepala Pasar. Dan karena itu pula nenekmu ini sendiri melepas semuanya dengan memilih menikah dengan seorang pelaut biasa. Agar engkau sadar bahwa kau adalah keturunan petani dan nelayan yang kalah dan membudak. Maka dari itu pula kau bisa belajar dari kesalahan dan kekalahan itu. Namun suatu saat salahkan dan rubahlah, bila apa yang kuceritakan ini berlubang dan patut dirubah, dan tutup lubang itu dan ubahlah dengan pengetahuanmu kelak. Tugasku bercerita sudahlah selesai, terserah padamu sekarang.
Setelah nenek bercerita keadaan menjadi hening. Ibu dan Hasan hanya bisa melongo dan menatap nenek. Tak percaya tentang yang baru saja mereka dengar, sedangkan nenek santai menyeruput teh nya. “ He, Hasan sudah kenapa masih duduk saja, sana kerjakan tugasmu “. Masih terdiam bingung, Hasan beranjak dari tempat duduknya hingga lupa pamit pada nenek. Menutup pintu kamar dan berebah ia. Memikirkan kembali apa yang baru saja ia dengar dari neneknya. Sayup – sayup suara nenek Tijah masih terdengar. Detik jam pun terus berjalan. Dan suara nenek tak terdengar lagi, ”ah, sudah pulang beliau rupanya“ gumamnya.
 Nb : untuk nenekku Siti Hatijah yang tak pernah cerita.

Share on Google Plus

About Penjara Ilmu

0 komentar:

Post a Comment