Agama dalam Perspektif Sosiologi

Agama dalam Perspektif Sosiologi: Keyakinan akan Kebenaran & Kebijaksanaan Manusia

Ketika kita mencoba memahami keberadaan diri kita sendiri, secara pribadi, setiap kita masing-masing individu, tanpa memandang orang lain sama sekali; Apakah dimungkinkan bagi kita untuk memahami bagaimana kita bisa memeluk suatu agama tertentu?
Selangkah lebih jauh lagi, tanyakan pada diri kita, apakah dimungkinkan bagi saya untuk berpindah dan menganut agama yang lain selain daripada yang saya yakini selama ini?
Dan yang terakhir, bisakah orang lain merayu, atau bahkan memaksa saya untuk berpindah dan berpaling dari agama yang saya yakini sebagai sebuah kebenaran?
Saya yakin jawabannya adalah TIDAK. Tidak seorangpun bisa memaksa kita untuk memeluk agama yang berbeda dengan yang saya yakini sebagai kepercayaan saya. Tidak seorangpun bisa meyakinkan saya bahwa agamanya lebih benar daripada agama saya. Saya yakin semua dari kita bisa memahami bahwa agama adalah bagian hidup yang paling personal dan jika ada orang lain yang menganggap bahwa agamaya adalah yang paling benar, tentu saja saya bisa memahami hal itu, karena saya pun menganggap bahwa agama saya yang paling benar. Jika saya tidak memiliki kepastian itu dalam diri saya, maka tentunya saya sudah memeluk agama apapun yang saya anggap sebagai kebenaran mutlak.
Apakah orang lain bisa memaksa saya untuk menyukai es krim rasa durian jika saya menyukai es krim rasa green tea? Orang lain bisa memaksa saya untuk memakan es krim rasa durian, dan akan membuat saya muntah karena saya tidak tahan baunya. Ancaman dan paksaan akan membuat saya ketakutan tentang kenyamanan dan kelangsungan hidup saya, sementara rayuan dan iming-iming akan membuat saya tertarik. Saya akan memakan es krim rasa durian. Orang akan mengira saya penggemar es krim rasa durian.
Tapi siapapun tidak akan pernah bisa memaksa saya untuk menyukai es krim rasa durian. Saya akan semakin mendambakan dan merindukan es krim green tea.  Karena itulah diri saya, penggemar es krim green tea.
Saya yakin kita bisa sangat mengerti dan berelasi dengan jelas terhadap sepotong fakta kehidupan yang barusan saya jelaskan. Jika demikian, maka jelaslah, bahwa melalui ancaman ataupun rayuan, kita yang memiliki keyakinan yang sejati terhadap agama yang kita percayai dengan segenap hidup kita sebagai suatu kebenaran mutlak, tidak akan membuat kita bergeser dan berpindah agama begitu saja.
Mereka yang beragama Kristen, bersekolah di luar negeri yang beragama Buddha, apakah dia tiba-tiba berpindah menjadi Buddhist? Mereka yang sering mendengar panggilan ibadah umat Islam, apakah serta merta memeluk agama Islam? Hiasan Natal yang meriah di negara ateis, apakah serta merta menjadikan banyak penduduk mereka menjadi umat Kristiani? Mereka yang pergi ke pulau Bali untuk merantau mengadu nasib dan peruntungan, apakah mereka kembali sebagai umat Hindu?
Saya bisa terus berceloteh, tapi saya yakin kita semua menangkap maksud dari kalimat-kalimat saya.
Jadi lihatlah sendiri, fenomena perpindahan agama adalah esensi dari suatu sistem kepercayaan yang tidak bisa dipengaruhi –apalagi diintervensi– dari luar diri kita sendiri. Lihatlah sendiri, dalam agama apapun dari sebelah manapun, berapa banyak orang yang mati untuk menunjukkan kepercayaan dan kebenaran agama mereka. Jika hidup dan mati pun sudah tidak bisa menggoyahkan keyakinan seseorang, bagaimana seorang manusia, siapapun dia, bisa begitu saja berpindah agama. Mengapa kita menjadi khawatir ketika melihat ada orang yang berpindah agama, seakan-akan kehilangan pendukung atau kehilangan jumlah anggota. Apakah agama itu seperti keanggotaan dalam sebuah klub yang sedang bersaing jumlah anggota dengan klub lain? Apakah agama itu seperti persaingan jumlah tentara untuk memenangkan pertarungan? Apakah jumlah yang banyak menentukan kemenangan?
Seharusnya tidak sedemikian. Berapa banyak peperangan besar yang gemilang yang terjadi antara pasukan jumlah besar yang dibantai habis oleh pasukan yang jumlah jauh lebih sedikit. Agama adalah bagaimana setiap orang, secara pribadi, berelasi dengan penciptanya. Tidakkah hal itu sifatnya seorang demi seorang, pribadi lepas pribadi. Tidakkah kita masuk kedalam akherat seorang demi seorang, bukan bersifat membership dan borongan/kolektif/beramai-ramai. Apakah kita yakin bahwa mereka yang berdiri disebelah kita saat berada dalam tempat ibadah dalam hatinya yang paling dalam, datang beribadah dengan niat yang sama seperti kita? Apakah kita yakin bahwa amal dan ibadah antara yang seorang dengan yang lain akan diperkenan oleh Sang Pencipta? Tidakkah setiap agama mengajarkan semua yang baik?
Jika demikian, sebenarnya, apakah kita perlu merisaukan bagaimana Sang Pencipta mengurus ciptaan-Nya? Apakah kita perlu membantu Sang Pencipta? Membela Dia seolah-olah kita lebih bijaksana dan lebih hebat daripada Dia yang menciptakan dunia dan segala isinya? Karena itulah setiap orang sepatutnya mempelajari ajaran agamanya seturut dengan kepercayaan masing-masing.
Karena itulah sistem pendidikan menyediakan wadah bagi setiap pelajar suatu bentuk pelajaran agama, supaya melalui wadah pendidikan, terbentuklah pengertian dan pengetahuan tentang konsep kebenaran yang dipercayai sebagai suatu agama dan kebenaran yang pantas untuk dianut, untuk menghindari fanatisme.
Dunia kita menjamin kebebasan hak beragama sebagai salah satu hak asasi manusia yang paling asasi. Karena pemaksaan dalam agama akan menghasilkan peperangan dan korban jiwa yang sangat besar, demi mempertahankan sesuatu yang bahkan tidak dapat dilihat, disentuh, bahkan tidak dapat terselami. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan hakiki, apakah yang dimaksud dengan “agama” ini? Apakah ini tentang perspektif manusia mengenai bagaimana bersikap dihadapan Tuhan, atau tentang perspektif Tuhan mengenai bagaimana manusia dihadapan Tuhan, atau tentang perspektif manusia tentang bagaimana Tuhan dihadapan manusia?
Lihatlah, kebijaksanaan manusia dalam mengatur segala sesuatu. Lihatlah, agama mengajarkan semua yang baik. Lihatlah, bahwa semua manusia dalam hatinya mengetahui ada kebenaran dan kebaikan supaya tidak mencelakakan manusia lain. Lihatlah dunia sekeliling kita, apa yang kita lihat? Mari kita buka mata kita lebar-lebar, apakah ini yang diajarkan oleh agama kita, apapun agama itu?
Tidakkah kita semua mendambakan tatanan masyarakat yang baik? Akan tetapi, siapakah masyarakat itu? Tidak lain adalah Anda dan saya, kita semua. Dan jika kita semua memulainya dari menata diri kita sendiri, kita akan pasti dapat mewujudkan apa yang kita dambakan. Saya yakin, kita tidak sendiri

Sumber: https://jimmyronald.wordpress.com/2016/12/16/sosiologi-beragama
Share on Google Plus

About Penjara Ilmu

0 komentar:

Post a Comment