PENDIDIKAN BERBAU PENJARA

PENDIDIKAN BERBAU PENJARA

            Rupanya masih menarik dan terus akan menjadi perbincangan publik tidak hanya para akademisi melainkan non akademisi pula bicara tentang “pendidikan” di bumi Indonesia ini. Sebab pendidikan akan menentukan masa depan suatu bangsa, bila visi pendidikan tidak jelas , yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Beberapa hari yang lalu refleksi tentang “Hardiknas”, tepatnya tanggal 2 Mei 2012 beragam cara dilakukan untuk mengekspresikan kepedulian tentang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), salah satunya adalah upacara bendera oleh sebagian besar lembaga pendidikan mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai pada Perguruan Tinggi (PT) baik negeri atauapun swasta. Bagi penulis, ditengah kesenjangan yang begitu tajam dalam akses pendidikan antara golongan kaya dan golongan miskin, rendahnya sebuah mutu pendidikan, masalah kapabilitas guru yang diragukan, pembiaran Pemerintah terhadap infra struktur sekolah, sempitnya lowongan pekerjaan bagi sarjana, dan demokratisasi pendidikan yang tumpul nan usang, di hari pendidkan nasional, pemerintah hanya bisa memberikan intruksi kepada seluruh lembaga pendidikan untuk melaksanakan upacara bendera.
Hal itulah yang disebut “doxa” oleh Pierre Bourdieu. Doxa adalah sudut pandang penguasa atau kelompok dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal. Bahwa sekolah membuka kesempatan sama bagi semua orang merupakan doxa. Sudut pandang ini diterima oleh semua, meski sebetulnya hanya menguntungkan kelas menengah ke atas, bukan kelas miskin.
Perlu kiranya untuk penulis refresh kembali histori tanggal 2 Mei menjadi Hari Pendidikan Nasional. Berawal dari sebuah kegigihan akan perjuangan untuk membangun pendidikan bagi masyarakat pribumi oleh seorang tokoh yang dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta, suatu protes tajam menuntut pemerataan pendidikan yang sama tanpa dikotomi kelas terhadap kaum kaphe (kolonial) melalui tulisan-tulisannya. Salah satunya ialah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang berisi sebuah kutipan: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! “Kalau aku seorang Belanda” Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Atas segala perjuangannya itu lalu beliau di penjarakan, dibuang tanpa pengadilan ke Pulau Bangka. Namun adanya sebuah pembelaan melalui tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo akhirnya beliau dipindahkan ke Belanda dan belajar demi kematangan untuk membangun pendidikan nasional di Indonesia kelak, terbukti beliau dirikan sebuah pendidikan bernama “Perguruan Nasional  Taman Siswa” pada 3 Juli 1922 setelah beliau pulang dari Belanda dengan memperoleh akta guru Eropa.
Masih membekas dan terus terdengar gaung bunyi akan konsep pendidikan yang pernah beliau cetuskan terutama bagi para pendidik, guru atau dosen yang penulis sebut sebagai “the three holy word education” (tiga kalimat suci pendidikan), yaitu:
Pertama, Ing ngarsa sung tuludha, berbasis keteladanan. Guru sebagai pilar terdepan (row mode) dalam suksesnya pendidikan karakter terpuji ditengah kondisi masyarakat yang masih paternalistik.
Kedua, Ing madya mangun karsa, berbasis perhatian. Dibawah tekanan arus hegemoni tekhnologi yang menggiring peserta didik menjadi masyarakat hidon dan lelap dalam kesenangan semata (kontra produktif) akan memberikan dampak buruk terhadap perkembangan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Disela-sela itulah, guru mempunyai peran penting untuk memberikan sebuah perhatian kepada peserta didik agar mengarahkan kembali sebuah tujuan penting dari arti “humanis” sebagai poin terarahnya tujuan berbangsa dan bernegara demi sebuah keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga, Tutwuri Handayani, berbasis dukungan (support people). Memberikan semangat tatkala generasi muda kian usang untuk berkarakter baik, mendorong dan memberi perlindungan di tengah hilangnya jati diri mereka sebagai bagian dari rakyat Indonesia.
Namun tidak hanya dalam konotasi pudarnya suatu kalimat suci tersebut dalam aplikasi pendidikan, melainkan seorang pendidik tidak mampu mengembangkan apa yang disebut oleh seorang tokoh psikoanalisa kontemporer Erich Fromm dalam tulisannya The Heart of Man, sebagai biofili, tetapi justru sebaliknya mengembangkan nekrofili.
“Sementara kehidupan ditandai oleh pertumbuhan secara fungsional dan terpola, penderita nekrofili menyukai segala hal yang tidak tumbuh, segala hal yang mekanis. Penderita nekrofili didorong oleh nafsu untuk mengubah hidup menjadi tidak hidup, memahami kehidupan secara mekanis, seolah-olah semua manusia yang hidup adalah benda-benda ……..Hafalan, bukannya pengalaman; memiliki bukannya mengada, adalah apa yang berlaku baginya. Penderita nekrofili dapat berhubungan dengan suatu obyek – sekuntum bunga atau seorang manusia apabila ia memilikinya; dengan begitu suatu ancaman bagi dirinya; bila ia kehilangan miliknya maka ia kehilangan hubungannya dengan dunia ….Ia suka berkuasa, dan dalam mengusai ia membunuh kehidupan”.
Gagasan Fromm tersebut memiliki titik temu (equelibrium) dengan sebuah protes dari tokoh pedagogik Paulo Freire yang disebut konsep bank (Banking Concept of Education). Dalam konsep pendidikan gaya bank, menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Pendidik (guru atau dosen) menampilkan diri dihadapan murid-muridnya sebagai orang yang berada pada pihak yang berlawanan; dengan menganggap mereka mutlak bodoh, maka ia mengukuhkan keberadaan diri sendiri.
Beberapa hari lalu, penulis yang notabenenya adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poiltik diajak oleh beberapa teman dari Fakultas Ekonomi untuk mengikuti kelasnya yang masih semester 2 (dua). Tadinya penulis sedikit keberatan  sambil menolak ajakan teman namun sejenak penulis teringat film 3 Idiot, bahwa sekolah hanyalah butuh seragam sementara kalau tidak pakai seragam seperti mahasiswa, mana mungkin dosen tahu bahwa saya bukan mahasiswa ekonomi. Waktu itu, mata kuliah yang dismpaikan kalau tidak salah “Aspek-aspek Hukum Ekonomi” dimana sebelumnya mahasiswa diberikan tugas untuk menganalisis tentang “Bolehkah kreditor menggugat debitor?”.
Dengan memanggil nama diabsen satu persatu, dosen menanyakan sampai jam kuliah selesai dan hanya sedikit alias dua atau tiga orang yang bisa menjawab, itupun tidak sempurna karena tidak sama dengan apa yang tertulis di buku. Akhirnya dimenit-menit terakhir dari mata kuliah tersebut, terdengar sebuah lontaran yang sangat tidak layak untuk diucapkan oleh seorang dosen yaitu, bodoh, tolol, dan o’on kepada seluruh mahasiswa yang ada diruangan kelas. Penulis merasa tersentak namun hanya bisa berdiam diri, sama dengan mahasiswa lainnya.
Inilah yang dimaksud Paulo Freire dengan pendidikan gaya bank, dimana murid ditenggelamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Kondisi sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidak berdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati.
Secara sederhana pendidikan gaya bank yang dimaksud oleh Freire ialah sebagai berikut:
1. Guru mengajar,  murid  diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru  berpikir,  murid  dipikirkan
4. Guru menentukan  peraturan,  murid diatur
5. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid  menyetujui
6. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya  berbuat melalui  perbuatan  guru
7. Guru bercerita,  murid  patuh  mendengarkan
8. Guru memilih  bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan  diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukkan  kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi  kebebasan  murid
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid  adalah  obyek  belaka.
Sudah barang tentu masih banyak lagi kasus-kasus pendidikan serupa diatas misalnya disaat UTS (Ujian Tengah Semester), dimana saat itu ujian “Pendidikan Agama Islam” ada kawan bercerita tentang seorang dosen yang mempermalukannya didepan teman-temannya yang lain hanya karena jawaban yang kawan tulis tadi berbeda dengan arus pemikiran dosen. Jadi teringat cerita M. Izza Ahsin yang menulis buku berjudul “Dunia Tanpa Sekolah”, dalam isi bukunya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena bagi dia sekolah tidak lebih dari sebuah penjara yang dihuni guru-guru pencuci otak manusia menjadi kotor dan error, kebebasan peserta didik yang terbelenggu, dan guru hanya bisa mempermalukan dan mengerdilkan posisi murid dihadapan yang lainnya.   Permasalah semacam ini karena tidak adanya sebuah kejelasan akan visi pendidikan yang dapat diterjemahkan dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran yang jelas dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsanya. Namun di Indonesia, berubahnya sistem pendidikan biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, tetapi justru membuat orang ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas.      Jangan-jangan hanya lantaran penguasa berganti, Menteri Pendidikan berganti, lalu politik pendidikan berganti. Maka sistem pendidikan jangan sampai menjadi pangsa tawar-menawar politik yang tidak jelas orientasinya.

Sumber Bacaan:
Freire, Paulo, 2000. Pedagogy of The Oppressed, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Otomo Dananjaya, dkk, Jakarta: LP3ES.
Freire, Paulo, 2007. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif F. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryatmoko, 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Dominasi, Jakarta: Gramedia Pustaka.
http://www.masrahmat.com/2012/05/inilah-sejarah-hari-pendidikan-nasional.html.
Share on Google Plus

About Penjara Ilmu

0 komentar:

Post a Comment