KILAS BALIK SEJARAH KELAS DALAM PERSEMAIAN KAPITALISME
Musthofa Ghulayayni
Perbincangan etika politik tanpa memperhitungkan wacana ekonomi dalam sebuah nilai dan makna berperan dalam tindakan rasional yang direduksi menjadi rasionalitas ekonomi, dimana semua tindakan rasional harus memperhitungkan keuntungan dan ongkos. Rasionalitas ini membentuk hubungan kekuasaan yang peran utamanya dipegang oleh mereka yang menguasai operasi-operasi pasar.
Kalau dalam analisa Michel Foucault, kekuasaan dimengerti pertama-tama tidak dalam hubungannya dengan negara, tetapi dengan subyek dan dilihat dalam hubungannya dengan ekonomi. Orang diajak melihat apa yang sebenarnya berlangsung ialah bahwa wacana ekonomi sangat dominan di dalam politik kekuasaan. Orang hanya mengagungkan peran cara produksi dalam perkembangan masyarakat. Lalu kemalangan hidup ditimpakan pada masalah eksploitasi kerja dalam perspektif mencari keuntungan dan akumulasi modal (kapitalisme).
Akan muncul pertanyaan di otak kita, apakah sistem kapitalisme ini muncul begitu saja dan dari mana asal mulanya terlebih pengaruhnya di Indonesia? Maka sebagai jawaban perlu kiranya kita kaji dialektika history umat manusia dalam pembagian kelas. Menurut analisa Marxis mengenai sejarah umat manusia terdapat lima formasi utama sosio-ekonomi: (1) sistem primitif-komunal, (2) pudarnya masyarakat komunal, (3) kelahiran kelas-kelas dalam sistem kepemilikan budak, (4)feodalisme, dan (5) kapitalisme.
- 1. Sistem komunal primitif sebagai sebuah masyarakat tanpa kelas
Masyarakat primitif dikarakterisasikan oleh kepemilikan sosial atas alat-alat produksi yang menempatkan seluruh anggota dari klan-klan atau suku-suku dalam derajat yang sama. Kemudian pembagian kerja didasarkan pada kekhasan atau spesifikasi pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas-komunitas penanam, pengurus ternak, dan para pemburu yang hasilnya nanti dimakan secara berkelompok. Sistem sosial ini dikarakterisasikan oleh sebuah perkembangan tenaga-tenaga produktif dan produktivitas sama-sama berkembang dalam level yang teramat rendah. Pada saat itu, produksi yang dihasilkan orang dibuat semata-mata untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung sehingga tidak terdapat lahan lagi bagi mengakarnya bibit-bibit ketidakadilan sosial.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat primitif tidak ada kelompok-kelompok yang diperbedakan secara sosial yang stabil dan masyarakat seperti itulah secara esensial tanpa kelas.
- 2. Pudarnya masyarakat komunal dan kelahiran kelas-kelas
Salah satu dari prakondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dan yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi, surplus produk memberikan kepada manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat.
Pembentukan kelas-kelas melalui dua cara. Pertama, melalui kebangsawanan elit-elit penghisap terhadap latar belakang rakyat jelata sesama suku bangsa yang dimiskinkan akibat hutang yang tidak mampu dibayar. Kedua, melalui pembudakan bala tentara musuh yang tertangkap saat perang (tawanan) yang kemudian para peserta perang (penawan) menyadari bahwa lebih bermanfaat untuk membiarkan tawanan mereka terus hidup dan memaksa mereka untuk bekerja dalam arti kata pembunuhan hidup-hidup (the living slain) tawanan dengan mencabut hak-haknya sebagai manusia.
- 3. Kelas-kelas sistem kepemilikan budak
Lantas disaat tenaga-tenaga produktif tumbuh sangat perlahan. Sedangkan instrument-instrumen kerja begitu sederhana dan primitif, dan para budak tidak lagi peduli dengan hasil kerja mereka. Pada kondisi semacam itu, hasil regular dari surplus produksi hanya dapat dicapai melalui paksaan fisik secara langsung sebab para budak tidak memiliki alat-alat produksi serta tidak bisa mengorganisir pekerjaannya sehingga mereka hanya bisa patuh atas instruksi tuan-tuannya. Kebutuhan bagi paksaan ekstra ekonomi semacam itu merupakan ciri yang paling karakteristik dari praktek-praktek eksploitasi dari masyarakat pemilik budak.
- 4. Kelas-kelas masyarakat feodal
Sementara para seorang tuan feodal yang memiliki tanah-tanah yang dapat ditanami, membagi-bagikannya kepada para hamba-hambanya, menyediakan bagi mereka perkakas pertanian dan ternak-ternak dengan syarat mereka bekerja untuknya. Kelas utama pada masyarakat feodal adalah tuan-tuan feodal dan para hamba. Tuan-tuan tanah memiliki tanah yang luas dan para hamba merupakan bagian dari propertinya. Tapi berbeda dengan para budak, hamba-hamba tersebut bukanlah properti absolut dari para tuan-tuan feodal. Seorang tuan tanah dapat membeli atau menjual hamba-hambanya akan tetapi hukum melarang untuk membunuhnya.
Corak produksi feodal membutuhkan tenaga-tenaga produktif yang lebih berkembang, dan hal itu membuat seorang produsen member perhatian tertentu terhadap hasil kerjanya.
- 5. Kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis
Sementara kelas proletariat terdiri dari para pekerja upahan yang tidak memiliki alat-alat produksi dan harus menjual tenaga kepada para kapitalis sekedar untuk terus bertahan hidup. Dalam masyarakat kapitalis, seorang pekerja tidak berhak atas alat-alat produksi kecuali dia menjual tenaganya pada kaum kapitalis karena hanya kaum kapitalislah (borjuasi) yang memiliki alat-alat produksi. Perlu penulis jelaskan bahwa alat produksi disini ialah gabuangan dari objek kerja (object of labour) yaitu kekayaan alam, tenaga kerja, dan alat-alat kerja (means of labour) sebagai contoh dari alat-alat kerja ialah sebuah cangkul ditangan seorang petani merupakan sebuah alat kerja yang ia gunakan untuk mengolah tanah. Gabungan dari tiga hal diatas lantas dikenal sebagai alat-alat produksi (means of production).
Terdapat banyak ragam dari alat-alat produksi, inventarisnya berubah-ubah sesuai dengan jamannya. Sementara disaat kapital industrial mencengkram seluruh industri, saat itulah kapitalisme memantapkan diri sebagai corak produksi yang utama. Terlebih ketika pekembangan borjuasi dikaitkan dengan periode revolusi industri yang kemudian diiringi dengan revolusi sains dan tekhnologi di akhir abad 19 sampai awal abad 20 yang kemudian disebut sebagai periode kapitalisme. Dimana oligarki finansial timbul kepermukaan sebagai sebuah akibat munculnya jutawan dana multi jutawan memberikan efek buruk akan kebangkrutan banyak pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi serta sentralisasi produksi dan kapital. Inilah basis ekonomi monopoli muncul dan secara cepat berkembang sementara kapitalisme memasuki tahap tertinggi dalam perkembangannya yang dikenal sebagai “imperialisme”.
Di beberapa Negara berkembang yang berorientasi kapitalis, sebuah proses cepat yang berjalan dimana sejumlah besar massa-massa petani jatuh menjadi proleter-proleter lumpen. Sebagaian besar dari petani gagal dan menjadi pekerja upahan. Penyebabnya adalah kelemahan kapital nasional terutama dalam perdagangan dan belum adanya permintaan yang tinggi terhadap keterampilan pekerja dibawah revolusi sanis dan tekhnologi saat ini. Hampir semua kasus, setiap orang yang tidak berkelas (declassed) hanya dapat mempertahankan hidup dengan memburu pekerjaan-pekerjaan serabutan. Sebab cara berkembangnya kapitalis ialah dengan meningkatkan kemiskinan dan pengangguran dikalangan petani yang kemudian menjadi lumpen proleter. Demikian dengan kejadian di negara berkembang (undevelopment) seperti Indonesia ketika bicara masalah pangan untuk mengganjal perut yang lapar adalah sebuah pangkal persoalan karena hal tersebut merupakan sebuah kebutuhan jasmani yang terelakkan seperti yang dikatakan seorang antropolog, Melville J. Herskovitas ialah the primary determinants of survival bagi umat manusia sehingga pangan menjadi barang yang langka (scarcity) ketika dihadapkan pada sistem-sistem ekonomi dan politik yang lebih luas. Dari itu, lantas pangan hanyalah sebuah materi melalui pemaknaan ekonomis menjadi commudity yang mana seseorang bisa meraih keuntungan atasnya.
Indonesia memang merupakan pasar yang sangat menggiurkan untuk berbagai jenis pangan bagi para penguasa modal, baik domestik maupun asing baik itu trans national corporations (TNC) maupun multi national corporations (MNC) berlomba-lomba menyerbu pasar Indonesia.
Hal ini tidak lepas dari intervensi dari lembaga internasional seperti IMF bersama Bank Dunia dan WTO melalui kebijakan-kebijakan internasional dalam perdagangan pasar bebasnya yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kebijakan dalam negeri. Mari kita lihat kasus monopoli Bulog dibawah desakan IMF, tiba-tiba semua harus dilepaskan pada mekanisme pasar sejak tahun 1998. Bagaimana pergerseran secara resmi status Bulog dari LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen) menjadi Perusaan Umum (Perum) Bulog pada 10 Mei 2003 dan melegalkan aktivitas bisnis yang sebetulnya dilarang dilakukan LPND serta harus meraih keuntungan, sebab Bulog diberi otoritas penuh melakukan stabilitas harga melalui operasi pasar (khusus), yaitu mengintervensi pasar disaat harga beras/ gabah jatuh dikala panen raya atau harga melambung tinggi lantaran paceklik. Ketika hal itu terjadi maka misi sosialnya direduksi menjadi bisnis semata dan berimplikasi pada penolakan gabah petani yang sebelumnya dilakukan denga proses menanam dan memanen dilahan sendiri. Lantas karena hal itu dianggap tidak lagi menguntungkan maka sebagai jawaban lantas lebih memilih untuk mengimpor dari luar negeri misalnya beras Vietnam, paha ayam Amerika, gula dan buah-buahan Thailand, daging sapi Australia, kedele transgenik Amerika Serikat, dan masih banyak lainnya. Hal ini mengakibatkan ketidak stabilan ekonomi Indonesia seakan bergantung pada bahan dan pangan impor yang menguras devisa Negara. Kalau beras impor murah, konsumen diuntungkan, tapi juga para petani merugi karena harga beras domestik akan tertekan. Namun ketika harga beras impor naik, malapetaka beralih ke kelompok miskin yang rentan tak kuasa membeli beras. Maka wajar kalau dulunya beras Bulog diberikan secara gratis kepada masyarakat Indonesia, hari ini beras Bulog tidak lagi deiberikan secara cuma-cuma melainkan dibebani dengan garga yang disesuaikan dengan harga impor.
Pengaruh kapitalisme ini tidak hanya meluluh lantakkan ekonomi Negara akan tetapi juga menafikan nilai-nilai humanis. Terbukti pelegalan modal asing melalui kebijakan-kebijakan cabul yang hanya menguntungkan para penguasa dan pemilik modal. Di Indonesia begitu banyak restoran-restoran asing bertebaran dikota-kota besar Indonesia seperti KFC, McDonald, Texas, A&W, dan masih banyak lagi nama restoran asing lainnya di Indonesia. Perlu penulis jelasakan bahwa ayam yang dipasok ke restoran-restoran tersebut diatas dipelihara Indonesia, tapi induknya (grand parent) harus didatangakan dari Amerika.Demikian pula bungkil, jangung, tepung dan ikannya untuk pakan juga harus diimpor dari Amerika. Memang benar dulunya rakyat susah untuk makan ayam dan telur tapi sekarang dengan mudah dan murah mampu untuk dibeli. Akan tetapi sepersekian persen uang yang keluar dari kantung rakyat untuk makan telur dan daging ayam itu harus dikirim ke Amerika untuk impor induk dan bahan pakan. Begitu halnya dengan daging domba dan sapi yang harus diimpor dari Australia.
Memang benar komentar dari para pelanggan dan pelaku bisnis restoran fast-food diatas dengan slogan rasionalitas formal bahwa dengan adanya restoran seperti diatas yang menghidangkan makanan dan minuman cepat saji sehingga dianggap lebih efesien. Namun penting untuk dijelaskan bahwa dibalik kerasionalannya itu terdapat sebuah dampak yang irasional misalnya, kebutuhan keseragaman tanaman kentang untuk memenuhi standar kualitas kentang goreng yang berharap selalu disajikan di restoran fast-food. Tuntutan ini telah berdampak merugikan pada ekologi. Sejumlah luas areal pertanian terpacu menghasilkan kentang jenis-jenis itu dengan pemanfaatan zat kimia secara ekstensif karena menghasilkan kentang bermutu baik, harus dilakukan pemilihan yang tersisih dipakai sebagai makanan ternak atau pupuk. Bagaimanapun, cadangan air bawah tanah saat ini menunjuk pada tingkat pencemaran begitu tinggi dimana hasil pelacakan menunjuk penyebabnya tidak lain kotoran ternak dan pupuk tersebut.
Masih ada lagi beberapa masalah ekologi yang berkaitan dengan irasionalitasnya makanan siap saji yang dipuji oleh kebanyakan pelaku restoran fast-food, yaitu hutan terpaksa terus dikuliti untuk menghasilkan kertas, kerusakan yang diakibatkan oleh pemakaian polystyrene dan materi lain.
Selain itu efek tidak rasionalnya ialah dehumanisasi yang berlangsung ditempat makan dan kerja. Pembeli dipaksa antri, bergerak kearah counter, memesan makanan, membayar, membawa sendiri makanannya ke meja, lalu makan, mengumpulkan remah-remah, membuangnya ke tempat sampah. Disamping itu, restoran tersebut mebujuk pelanggan untuk cepat pergi. Jika tidak, restoran tersebut akan butuh banyak meja. Agar pelanggan tidak berlama-lama dengan makanan mereka, maka disajikanlah makanan yang cepat habis atau ada juga dengan mengembangkan tempat duduk yang merasa tidak nyaman untuk diduduki lebih dari 20 menit.
Modal asing (kapitalisme) tidak hanya pada sektor pangan saja untuk menguasai Indonesia dan melumpuhkan bangsa Indonesia akan tetapi masih banyak sektor lain dibawah cengkraman modal asing antara lain:
- Sektor Perbankan
- Sektor Asuransi
Bagaimana hal ini bisa terjadi adalah tidak terlepas dari aturan pemerintah bergaya sistem ekonomi kapital yang bahkan sengaja dibuat sangat liberal, dimana sangat memungkinkan bagi pihak asing untuk memiliki sampai dengan 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
- Sektor Pasar Modal/ Bursa Saham
- Sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
- Sektor Telekomunikasi
Demikian juga yang menimpa PT.Indosat Tbk., sebelumnya bernama PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Persero), adalah sebuah perusahaan penyedia layanan telekomunikasi yang lengkap dan terbesar kedua di Indonesia untuk jasa seluler (Matrix, Mentari, IM3, IM2, dll). Komposisi kepemilikan saham PT.Indosat yang dulunya mayoritas milik pemerintah, per Juni 2011 yang lalu sudah berubah menjadi: milik QTEL Asia (65%), Pemerintah Republik Indonesia (14,29%), Skagen AS (5,57%), dan publik (15,14%).
Sebetulnya apa yang dilakukan pemerintah tersebut bukanlah sebuah kebodohan melainkan sebuah strategi demi mendapatkan sebuah keuntungan tidak hanya dalam ekonomi tapi juga secara politik. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ernest Gallner :
“ Legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal, yaitu kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal kedua hal tersebut, maka masyarakat kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka mengharap hidup lebih baik dan standar hidup mereka berkembang naik ”.
Akan tetapi, langkah yang terjadi diatas merupakan sebuah kegagalan dalam mewujudkan kemakmuran yang direduksi demi prioritas pertumbuhan ekonomi semata sehingga untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara mengalami kepincangan dalam logika naif dan bisa dikatakan sebuah kegagalan. Makanya tak mengherankan paska reformasi kalau banyak lapisan sosial masyarakat mulai bernostalgia dengan rezim yang paling otoriter pada masa orde baru Soeharto, yang mampu menghilangkan keterasingan ekonomi dengan gaya stabilitasnya.
Persetubuhan antara penguasa dan pemilik modal merupakan bahaya besar bagi kita bangsa indonesia karena mereka akan melahirkan anak haram bernama “kapitalisme”. Sebagaimana diatas, tentunya tidak diragukan lagi bahwa kapitalisme akan memberikan dampak penistaan, menafikan nilai-nilai humanis, dan kemalangan hidup ditimpakan pada masalah eksploitasi kerja dalam perspektif mencari keuntungan. Menjadi benarlah apa yang dikatakan oleh Paul Riceour, bahwa cara pandang tersebut seakan tidak ada cita-cita yang khas politik yang bisa lepas dari kepentingan ekonomi. Lalu bagimana nasib cita-cita politik mencari keharuman bangsa, politik sebagai arena penyingkapan identitas diri, sebagai wahana mengabdikan diri dan upaya menggalang solidaritas. Sementara masyarakat tergiring pada orientasi ekonomi yang hanya kenal satu pola hubungan, yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini menjadi arena di mana kelompok-kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi dan ruang publik identik dengan pasar. Dengan demikian pluralitas yang tercipta masih semu karena hanya prestasi, berarti kompetisi yang menentukan. Lantas pragmatisme menjadi ideologi pokok masyarakat tersebut. Sedangkan pragmatisme cenderung mengesampingkan diskusi tentang prioritas, debat teoritis, dan ideologis, demi efesiensi.
*Mahasiswa Sosiologi, Univ. Wijaya Kusuma Surabaya
Referensi :Haryatmoko, 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Khudori, 2005. Lapar: Negeri Salah Urus!. Yogyakarta, Resist Book.
Ritzer, George, 2002.The McDonalization of Society. diterjemahkan oleh Solichin dan Didik P. Yuwono. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Yermakova, Antonio dan Ratnikov, Valentine, 2002. What Are Classes And The Class Struggle. di terjemahkan oleh Ikhsan. Yogyakarta, Penerbit Sumbu.
http://kabarnet.wordpress.com/2011/11/11/indonesia-dijual/.
0 komentar:
Post a Comment