Ilmu Perpustakaan dan Informasi : Perkembangan dan Tantangannya di Indonesia

Ilmu Perpustakaan dan Informasi : Perkembangan dan Tantangannya di Indonesia
Pendahuluan
Dalam makalah ini, tidak didefinisikan pengertian Ilmu Perpustakaan (Library Science)  atau pun Imu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) atau Library and Information Science (LIS) dengan pertimbangan bahwa para hadirin sudah memahami  cakupan, objek material dan formal kedua ranah tersebut. Juga singkatan IP&I dalam makalah ini dianggap sinonim dengan LIS.
Pendidikan pustakawan
Sampai saat ini belum ditemukan literatur yang membahas pendidikan tenaga perpustakaan sebelum tahun 1952. Bila memeriksa organisasi perpustakan yang berdiri pada tahun 1916 yaitu Vereenigde tot Bevordering van het Bibliotheekwezen in Nederlandsch-Indie, tidak ada uraian mengenai latar belakang tenaga pustakawan.
a. Periode  1952-1961: Kursus di bawah Kementerian P.P.K.
Perpustakaan modern pertama yang berdiri di Indonesia adalah perpustakaan Batavaiasch Genootschap van Kunsten en  Wetenschapen, kelak koleksinya merupakan koleksi inti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pendirian berbagai perpustakaan di Indonesia, terutama perpustakaan khusus di Hindia Belanda tidak diimbangi dengan penyediaan tenaga perpustakaan. Tenaga yang ada adalah tenaga otodidak, banyak yang berasal dari bidang lain.
Perkembangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi (selanjutnya disingkat IP&I) dimulai dengan pembukaan Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan oleh Biro Perpustakaan Kementerian Pendidikan, Pengadjarand an Kebudayaan pada tanggal 15 Oktober 1952. Peresmian dilselenggarakan di Perpustakaan Sejarah dan Politik di Merdeka Selatan 11, Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1952. Dari tanggal  diklaim sebagai usia Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan menerima tenaga yang sudah bekerja di perpustakaan dengan syarat lulusan SMA. Kursus direncanakan semula 1 tahun, kemudian 1,5 tahun,lalu 2 tahun, selanjutnya 2,5 tahun. Nama kursus pun berubah menjadi Kursus Pendidikan Ahli Perpustakaan (1955) , dan pada tahun 1959 berubah menjadi Sekolah Perpustakaan dengan lama pendidikan 3 tahun.
Kurikulum menekankan pada ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja di  semua jenis perpustakaan. Yang dominan ialah mata kuliah pengolahan seperti katalogisasi dan katalogisasu,\ Pada masa ini satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia berpusat di Medan Merdeka Selatan 11 dikelola sepenuhnya oleh Biro Perpustakaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan.
b. Periode  1961-1969 Masa penerimaan lulusan SMA, dikelola universitas.
Pada tahun 1961, Sekolah Perpustakaan dilebur ke Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Indonesia. Di sini penddiikan pustakawan mulai mengenal mata kuliah wajib universitas dan wajib fakultas. Tahun 1964, pendidikan pustakawan dipindahkan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sementara Djurusan Pendidikan Djasmani dimasukkan ke Sekolah Tinggi Olahraga, sisanya FKIP dimasukkan ke Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Lulusan FKIP UI hanya dua angkatan yaitu lulusan 1962 dan 1963 selanjutnya lulusan Fakkultas Sastra Universitas Indonesia mulai 1964  sampai tahun 2004, sesudah itu bagian dari Fakukltas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).
Di Fakultas Sastra, mata kuliah mencakup mata kuliah universitas, fakultas, dan wajib jurusan.  Dibandingkan dengan masa sebelum dikelola universitas, mata kuliah sejak di bawah universitas  lebih bervariasi dalam arti berbagai mata kuliah kepustakawanan disediakan lebih banyak.
c. Periode 1969 – 1986 Masa penerimaaan berbasis Sardjana Muda.
Pada periode ini lembaga pendidikan hanya menerima lulusan Sardjana Muda,  Sistem ini secara tidak langsung didorong mirip sistempendidikan pustakawan di AS yang hanya menerima lulusan bergelar Bachelor of Arts/Sciences, hanya saja karena di Indonesia belum ada pendidikan mirip AS maka yang diterima adalah lulusan Sardjana Muda. Bantuan awal diberikan oleh The Asia Foundation dan Fulbright Program
Pada masa ini mulai dikenal Mata Kuliah Dasar Umum yang merupakan mata kuliah wajib nasional dan universitas Mata Kuliah Dasar Keahlian dan Mata Kuliah Pilihan. Pada masa ini mulai timbul pertanyaan bagaimana kurikulum yang sesuai untuk pustakawan mengingat pendidikan sardjana IP&I diselenggarakan oleh fakultas yang berbeda. Di Universitas Indonesia diselenggarakan di bawah Fakuktas Sastra sedangkan di Bandung pndidikan dilakukan oleh IKIP Bandung melalui Fakultas Ilmu Pendidikan. Masalah semakin meruyak tatkala pendidikan pustakawan di Bandung dimasukkan ke Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadajaran, pindahan dari IKIP Bandung.
Mata kuliah keahlian masih  terpusat pada pengolahan materi perpustakaan, hanya saja mulai dikenalkan mata kuliah berkaitan dengan Komputer. Di Unpad calon pustakawan mulai berkenalan dengan mata kuliah tentang Kekomunikasian, sesuatu yang baru dan tidak dikenal sebelumnya tatkala masih bernaung di bawah IKIP Bandung.
Periode ini ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur komposisi mata kuliah IP&I, sebahagian besar hanya berbobot 2 SKS, sedikit yang berbobot 4 SKS dan tidak ada mata kukliah bertobot 3 SKS
d. Periode 1986- sekarang
Pada masa ini keluar Keputusan Menteri Pendidikan Nasional yang membagi sistem pendidikan menjadi dua yaiti pendidikan profesional dan akademik, dahulu pernah disebut jalur nongelar dan gelar. Secara sederhana di gambarkan sebagai berikut :


Mata kuliah program diploma ditekankan pada penerapan, karena itu  nisbah antara teori dengan praktik adalah 60:40. Hal sebaliknya terjadi pada program sarjana yang mementingkan teori maka nsibah antara teori dengan praktik adalah 60:40.
Semula pembagian pendidikan professional dengan akademik ditandai dengan sebutan program nongelar (program professional) dan program gelar (jalur akademik), namun kemudian diubah. Jalur professional menghasilkan gelar seperti Diploma 3 bergelar Ahli Madya sedangkan Diploma 4 bergelar Sarjana terapan. Pada masa ini ada periode yang ditandai dengan sarjana tanpa skripsi. Yang berlangsung sampai  awal tahun 1990 an selanjutnya mahasiswa diwajibkan membuat skripsi.
e. Periode 1990 – sekarang
Program pascasarjana baru dibuka pada tahun 1990 di Universitas Indonesia dengan syarat masukan sarjana semua bidang termasuk sarjana IP&I. Sampai saat ini tercatat lima universitas penyelenggara program pascasarjana (PPS). Pada tahun 1996 muncul usulan program doktor IP&I, disetujui tahun 1998 di bawah naungan Ilmu Komputer Program pascasarjana Universitas Indonesia. Program ini tidak pernah berjalan karena kurang sosialisasi, adanya keberatan dengan topic yang harus bertautan dengan Ilmu Komputer serta krisis politik dan ekonomi yang melanda Indonesia pada masa itu.
Pada tahun ajaran 2012 di buka program doktor di bawah naungan Program Studi Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada, merupakan kerjasama antara Universitas Gadjah Mada dengan Koln Universitat.
Perkembangan pendidikan  seiring perkembangan ilmu?
Bila melihat sejarah pendidikan pustakawan timbul pertanyaan  apakah perkembanganb pendidikan seiring dengan perkembangan keikmuan? Mungkin kita perlu melihat bidang lain.
Pendidikan kedokteran di Indonesia dibuka pada tahun 1851 dengan nama Dokter-Djawa School namanya kemudian diganti dengan STOVIA, kemudian di Surabaya didirikan NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool). Tujuan didirikannya lembaga pendidikan tersebut adalah untuk memenuhi keperluan penjajah akan tenaga-tenaga terdirik dan untuk secara sistematis memasukkan kebudayaan penjajah kepada bangsa Indonedsia. Juga pengertian sekolah-sekolah kejuruan sesuai dengan literature Belanda yang sekolah kejuruan. Meskipun dinamakan sekolah kedokteran, namun fokus pendidikannya saat itu masih pada pengetahuan kesehatan dasar dan aplikasinya yang praktis, yang diantaranya adalah pengetahuan dalam pelaksanaan vaksinasi.. Tujuannya adalah agar para lulusan langsung dapat bekerja menjaga kesehatan umum di kalangan masyarakat pedesaan, dengan pengetahuan yang cukup dan dapat dipertanggung-jawabkan
Pendidikan tinggi kedokteran baru berdiri pada tahun 1927 di Batavia (kini Jakarta) dengan dibukanya Geneeskundige HoogeschoolDi sini dibedakan antara sebutan artsenscholen dengan Hogeschool, kemudian pada tahun 1940 istilah hogeschool diubah menjadi faculteit, Bila disimak maka terdapat perbedaan antara lulusan Sekolah Dokter Djawa dan Geneeskundige Hoge School;  Sekolah Dokter Djawa menghasilkan tenaga seperti mantra cacar sedangkan GHS menghasilkan dokter. Pada Sekolah Dokter Djawa menerima asupan berupa siapa saja yang lulus ujian dan mampu membayar sendiri sedangkan pada GHS mewajibkan lulusan AMS atau HBS. Maka dari segi keilmuan berbeda antara bagian yang diberikan untuk kursus dengan fakultas.
Implementasi sebuah ilmu tidak sama dengan mulainya kajian sebuah ilmu sebagai disiplin ilmiah Dengan kata lain awal pendidikan sebuah ilmu berupa kursus yang berifat ketrampilan serta  merupakan implementasi  tidak identik dengan keahlian yang diberikan pada  tingkat fakultas atau pu n kajian ilmiah sebuah ilmu. Hal serupa akan dianalogkan dengan pendidikan pustakawan di Indonesia. Maka perkembangan pendidikan pustakwan yang dimulai dengan sebuah kursus tidak selalu ditandai sama dengan perkembangan keimuan.
Perkembangan IP&I
Sungguhun pun demikian, ada aspek tertentu dari perkembangan IP&I di Indonesia yang layak dicatat,  sebagai sumbangan terhadap khazanah IP&I di Indonesia.
Pertama, aspek teknis IP&I.  Ketika pembukaan Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan,  tekanan semula pada katalogisasi yang berbasis American Library Association Cataloging Rules, Dalam pedoman ALA tersebut tidak ada nama Indonesia sehingga mendorong  pengajar KPAP untuk menulis  peraturan mengenai nama-nama Indonesia.
Upaya ini diteruskan ke pertemuan di Paris 1961 yang menghasilkan Paris Pinciple of Cataloguing. Usulan nama Indonesia kelak masuk pada Anglo-American Cataloguing Rules  (AACR2) sampai sekarang. Mungkin ada pendapat yang mengatakan katalogisasi bukan kegiatan ilmiah dari IP&I, namun sumbangan pustakawan pelopor tahun 1950 an dapat dilihat sebagai sumbangan keilmuan pada IP&I di Indonesia.
Aspek teknis kedua ialah usulan agar perubahan  notasi Indonesia pada  Dewey Decimal Classification. Pada DDC h edisi 15, yang digunakan peserta kursus hingga awal 1960 an, notasi  Indonesia  ditempatkan pada  kawasan Oceania Pasifik f (991). Hal tersebut  mendorong pengajar Sekolah Perpustakaan menulis artikel yang mengusulkan agar notasi Indonesia ditempatkan di Asia Tenggara. Usulan ini barui diterima pada edsisi ke 17, disusul dengan usulan notasi geografi Indonesia yang lebih rinci.
Kedua  adalah aspek teknologi  pada  pertengahan 1980an ketika lembaga pendidikan mulai mengajarkan aplikasi TI untuk perpustakaan yang dimulai dengan program CDS ISIS. Pengajaran ini memberikan sumbangan terbentuknya perpustakaan terpadu atau perpustakaan terautomasi kemudian berkembang menjadi perpustakaan hibrida dan perpustakaan digital selanjutnya ke perpustakaan tanpa tembok atau juga perpustakaan maya.
Ketiga aspek filsafat dari IP&I mulai dibahas sekitar akhir 1980 an tatkala banyak dosen dan pustakawan yang lulus dari Inggris. Upaya pemikiran tentang IP&I dilihat dari sudut filsafat ilmu digagas oleh Putu Pendit dengan makalah dari Karmidi Martoatmodjo dan Sulistyo-Basuki. Hasilnya dituangkan dalam majalah Perpustakaan& InformasiPemikiran tentang kajian filsafat ilmu terhadap IP&I diteruskan dalam berbagai pertemuan di universits lain.
Ketentuan bahwa sebuah ilmu harus memiliki teori juga dimulai sekitar awal tahun 2000 an, misalnya berbagai ceramah oleh Pendit. Maka dapat dikatakan bahwa pemikirans serius tentang hakikat keilmuan dari IP&I baru dimulai dengan munculnya program pascasarjana awal 1990 an.
Tantangan atau kendala
Di sini kendala yang dihadapi oleh IP&I di Indonesia dapat dianggap sebagai tantangan oleh komunitas IP&I dalam mengembangkan ilmu.  Berikut ini uraian tentang tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan pustakawan.
a. Bagaimana menjadikan pustakawan sebagai tenaga professional.
Sudah banyak literatur tentang pustakawan sebagai profesi, Bila menggunakan pendekatan karakteristik maka salah satu syarat ialah pustakawan harus lulusan pendidikan tinggi dengan mata kuliah yang ditentukan. Hal ini tidak mudah karena masih ada lagi pustakawan fungsional yang tidak selalu lulusan pendidikan tinggi.
Sampai sekarang dan berdasarkan UU no. 43 tahun 2007 yang menyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan. Maka di Indonesia ada 2 jenis pustakawan yaitu mereka yang berasal dari lembaga pendidikan formal dan kursus/pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat PNRI. Dampaknya ialah ada dua kutub yang berpengaruh terhadap pekerjaan yatu lulusan pendidikan formal cenderung bekerja di perpustakaan perguruan tinggi, khusus dan sekolah sedangkan lulusan Pusdiklat banyak bekerja di perpustakaan umum, perpustakaan badan, kabupaten, dan kota. Di sini nampak bahwa Perpustakaan Nasional  menggunakan pendekatan kuantitas bukannya pendekatan kualitas dan hal ini sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun!
Masalah ini ditambah dengan keluarnya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang perpustakaan. Tidak ditetapkan siapa yang mengawasi kompetensi ini, lalu bagaimana kompetensi diterapkan pada pola pendidikan yang tidak sama antara pelatihan dengan pendidikan formal?
Juga tidak diketahui bagaimana dan apa peran Ikatan Pustakawan Indonesia? Seharusnya organisasi profesi lah yang menentukan kompetensi dalam pendidikan formal dengan label akreditasi sehingga lulusan lembaga pendidikan formal yang terakreditasi diasumsikan sudah memiliki kompetensi ssuai dengan jenjangnya. Sayangnya IPI terlalu didominasi oleh birokrat asal PNRI yang sibuk dengan tugas kedinasannya daripada tugas organisasi.
b. Memperjuangkan nama lembaga pendidikan menjadi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Kewenangan ini ada di tangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Adanya ketentuan di Indonesia yang member wewenang pada DirektoratJnederal Pendidikan Tinggi untuk member izin pembukaan program studi serta nama program merupakan tantangan. Upaya lembaga pendidikan formal untuk mengganti nama Ilmu Perpustakaan (LS) menjadi Ilmu Perpustakaan & Informasi (IP&I)sudah berlangsung lama dan tidak (selalu) berhasil.
Dalam hal ini DIKTI  tidak konsisten karena banyak program yang menyebut dirinya sebagai program IP&I (misalnya semua program pascasarjana), ada yang menyebutkan nama informasi mendahukui nama perpustakaan (mislanya Unpad), menggabungkan ketiga nama menjadi satu sehingga muncul istilah Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan (misalnya Universitas Negeri Padang) tetapi ada juga yang dicoret sehingga nama program terbatas pada Ilmu Perpustakaan (misalnya Universitas Kristen Satyawacana). Dalam hal ini sebaiknya Asosiasi Penyelenggaran Pendidikan mengusulkan agar ada nama yang seragam. Soal  posisis program studi IP&I diserahkan kepada masing-masing universitas dengan ketentuan ada kurikulum “nasional” yang disepakati semua peserta (periksa juga butiran kurikulum nasional)
c. Peningkatan tenaga pengajar
Ada ketentuan yang menyebutkan bahwa pengajar program pascasarjana (Strata 2) harus berpendidikan sedikit-dikitnya doktor. Hal ini belum sepenuhnya trpenuhi karena kelangkaan pengajar yang bergelar doktor. Hingga saat ini Indonesia baru memiliki sekitar lima doktor IP&I. Upaya ke arah pembukaan program doktor sudah lama dilakukan, misalnya pada tahun1998 Universitas Indonesia telah membuka program doktor di bawah naungan Ilmu Komputer namun tidak seorang pun yang mendaftar karena ketidaksepakatan cakupan topik  disertasi, kurangnya sosialisasi serta krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada tahun-tahun tersebut (sekitar 1998, sebelum dan sesudahnya) sehingga banyak mahasiswa gagal karena faktor keuangan.
Universitas Gadjah Mada membuka program doktor ilmu perpustakaan di bawah naungan Program Kajian Budaya dan Media yang dimulai pada tahun ajaran 2012/2013. Diperkirakan topik disertasi lebih condong kearah budaya dan media sehingga kemungkinan pengembangan keilmuan tentang IP&I kurang mendapat proporsi yang besar. Universitas Padjadajaran berkali-kali menyelenggarakan lokakarya tentang kemungkinan pembukaan program doktor IP&I namun belum berhasil.
Masalah lain menyangkut tenaga guru besar. Saat ini tidak ada guru besar IP&I yang tetap sehingga diperkirakan guru besar IP&I baru ada sekitar tahun 2020 [sic] dengan asumsi tenaga dosen lulusan UGM baru bergelar doktor sekitar tahun 2015-2016 ditambah dengan waktu empat tahun untuk menghasilkan karya tulis yang memenuhi persyaratan seorang guru besar. Bila ada lulusan doktor tahun dari luar negeri 2012 atau 2013, maka diharapkan sebelum tahun 2020 sudah ada guru besar baru IP&I dengan asumsi diperlukan waktu sekitar 4-5 tahun berkarya sebelum mencapai jenjang guru besar.
Dampak dari ketiadaan program doktor IP&I ini adalah dosen yang bergelar magister atau strata 2 melanjutkan studi ke bidang lain seperti Komunikasi Masa, Antropologi, Sejarah, Arkeologi, Pendidikan dan sebagainya sehingga sedikit aneh bahwa program doktor IP&I diajar oleh penyandang doktor ilmu lain.
d. Konsentrasi pada jenjang pendidikan.
Dengan banyaknya universitas penyelenggara pendidikan pustakawan maka diperlukan konsentrasi jenjang pendidikan. (Lampiran 2)Perguruan tinggi semacam Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada dan lain-lain memusatkan diri pada penyelenggara program pascasarjana sehingga konsentrasi lebih tertuju pada penelitian dan pengembangkan keilmuan. Ada pun perguruan tinggi lain disarankan konsentrasi pada programsarjana atau strata 1. Pada jangka panjang, program Diploma atau sekarang vokasi  untuk IP&I diperkirakan  ditutup karena keperluan tenaga professional sudah diisi oleh lulusan Strata 1.
Bagi perguruan tinggi yang mengelola program vokasi dan akademik dari strata 1 s.d. 3 akan mengalami keterbatasan tenaga pengajar yang secara tidak langsung menghambat kegiatan penelitian dan publikasi atau pun program vokasi memiliki korps pengajar tersendiri tetap saja ada program sarjana yang mengajar di program vokasi. Imbasnya  ialah kurangnya tulisan dosen di jurnal IP&I.
e. Kurikulum bersama atau kurikulum “nasional”.
Sesudah Indonesia menginjak masa reformasi maka muncul tunutan agar kurikulum di perguruan tinggi diubah. Tuntutan ini berpijak pada asas kemandirian perguruan tinggi khusus dalam kurikulum. Sebelum tahun1998, kurikulum pendidikan pustakawan diatur sepenuhnya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kredit berkisar antara 144 – 160 SKS. Juga keberadaan program sarjana pada berbagai fakuktas menimbulkan pertanyaan bagaimana sebaiknya ada kompetensi yang sama walau pun letaknya di berbagai fakukltas.
Hal ini dijawab oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat yang mengeluarkan kurikulum “nasional” pada tahun 2001 (Periksa Lampiran 3).Kesepakatan kurikulum”nasional” telah disepakati pada Pertemuan kemang tahun 2004. Karena sudah berusia lebih dari lima tahun maka perlu revisi kurikulum. Dalam hal ini lembaga penyelenggara pendidikan IP&I perlu bekerja sama dengan Ditjen Dikti untuk membuat kurikulum”nasional” yang baru. Tulisan “nasional ditulis dalam tanda kutip, karena hanya merupakan dasar selanjutnya dikembangkan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan, misalnya  Fikom Unpad mengembangkan mata kuliah selanjutnya yang berbasis Ilmu Komunikasi.
Untuk program pascasarjana hanya ada 1 mata kuliah yang sama  yaitu metode penelitian, ada yang mirip-mirip menyangkut teknologi informasi seperti manajemen pangkalan data, atau yang bertautan dengan organisasi informasi.
f. Pengadaan literatur kepustakawanan.
Literatur kepustakawanan secara umum terbagi atas buku dan  majalah atau jurnal/ Untuk jurnal, perpustakaan perguruan tinggi sudah melanggan majalah taut iaringan (online) melalui penjaja seperti EBSCO, Proquest dan sejenisnya, Sungguh pun demikian jurnal IP&I yang tercakup masih terbatas, masih ada jurnal yang menduduki peringkat tinggi diembargo satu atau dua tahun sesudah terbit, ada pula yang tidak tercakup dalam tawaran penjaja (vendor)seperti Journal of Library Science, Library Quarterly. Maka anggapan bahwa bila melanggan jurnal sambung jarring (online) melalui penjaja (vebdor)  yang diy=tawarkan penjaja sudah mencakup semua jurnal dalam sebuah bidang ilmu adalah tidak tepat karena masih ada jurnal yang  tidak dilanggan padahal menduduki peringkat tinggi. Dalam bidang keimuan dan kajian informetrika.
Demikian pula soal buku ajar, praktis terbatas walaupun beberapa perpustakaan memungkinkan dosen membeli terlebih dahulu selanjutnya akan diganti serta dibuatkan1 fotokopi utuh oleh perpustakaan universitas.
g. Kerjasama  antara lembaga penyelenggara
Walaupun sudah disepakati pada pertemuan Kemang 2004 untuk membentuk semacam asosiasi atau konsorsium lembaga  penyelenggara pendidikan IP&I, hingga lebih dari 7 tahun sesudah kesepakatan disetujui, masih juga belum terlaksana.Mudah-mudahan dalam pertemuan ini dapat dihasilkan sebuah asosiasi, setelah terbentuk tetap aktif melaksanakan tugasnya.
Saran
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka makalah ini menyarankan hal sebagai berikut :
  1. Pembentukan asosiasi lembaga penyelenggara lembaga pendidikan IP&I. Usulan ini sudah ada sejak pertemuan Kemang,Jakarta tahun 2004.
  2. Penyusunan kurikulum “nasional” khusus untuk program sarjana. Kurikulum yang ada sejak tahun 2001 perlu direvisi. Ada pun untuk program pascasarjana, mungkin dasar-dasar yang dikemukakan oleh UNESCO dapat dijadikan pegangan.
  3. Pertemuan berkala dosen untuk membahas aspek keilmuan IP&I terutama yang berkaitan dengan filsafat dan teorinya.
  4. Perlu difikirkan apakah perlu urnal yang dikelola asosiasi guna menampung tulisan dosen dan mahasiswa. Jurnal yang dikelola bersama memiliki keunggulan dibandingkan dengan jurnal yang dikelola oleh program studi.
Penutup
Pendidikan pustakawan di Indonesia dimulai pada tahun 1952 dengan dibukanya Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan. Nama lembaga pendidkan berubah-ubah seperti Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan, Sekolah Perpustakaan, semuanya dikelola oleh Biro Perpustakaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan. Lembaga pendidikan pustakawan dengan masukan dari SMA serta dikelola oleh universitas berlangsung antara 1961 s.d. 1969. Mulai 1969 s.d. 1986 syarat masuk pendidikan pustakawan adalah sardjana/sarjana muda. Sejak 1986 dikenal  jalur professional dan akademik atau program diploma dan sarjana. Dari jalur akademik dikenal program sarjana (strata 1), magister (strata 2), dan doktor (strata 3).
Kendati pendidikan pustakawan sudah ada sejak 1952 tidak berarti bahwa pengembangan IP&I sudah ada sejak tahun tersebut karena implementasi berbeda dengan kajian keilmuan, mata kuliah yang diberikan pada kursus berbeda dengan apa yang diberikan pada universitas. Sungguhpun demikian ada sumbangan dari aspek teknis yang dimulai sekitar pertengahan 1950an, aspek teknologi sekitar pertengahan 1980 an dan aspek filsafati dan teori sekitar awal 1990 an. Khusus aspek filsafat dan teori keilmuanIP&I banyak dilakukan di lingkungan program pascasarjana, karena itu sebaiknya ada perguruan tinggi yang mengkhususkan diri pada program pascarajana (magister dan doktor) ada yang bergerak di ranah program sarjana dan diploma.

Bibliografi
“The rise and growth of libraries in pre-war Indonesia,” Library History, 14, May 1998:55-64
Indische Staatsblad 1927 no. 395 dan Indiische Staatsblad tahun 1927 no, 396.
Martoamtmodjo, Karmidi.Library education in Indonesia. Dalam Proceedings of the Dutch – Indonesia Library seminar, Jakarta, 23 – 24 August 1988. Jakarta: Center for Library Development in o-operation with The Royal Netherlands Embassy in Jakarta and National Library of Indonesia.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keputusan Menteri …nomor 83 tahun 2012 tentang penetapan rancangan standar kompetensi kerja nasional Indonesia sector Kemasyarakatan, Hibutan dan Perorangan lainnya Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional,2012.
Moeksan,S. Tjara menulis nama pengarang Djawa dalam katalogus /bibliografi. Perpustakaan 1(3-4) 1955:114-119;
Buku Kita, 1 (6) Djuni 1955:268-271;
Nata, I Gusti Ngurah Made; Notoprajitno, Teguh Wahjono dan Soedardi. Gelar dan nama gelar jang dipakai didepan nama orang2 Bali. Perpustakaan, 1(3-4)1955:129-132;
Pamuntjak, Roesina. Penentuan katautama dari nama Minangkabau. Perpustakaan Arsip Dokumentasi,2, 1957:25-27.
Pendit, Murtini S. Usul peraturan katautama nama pengarang Indonesia. Berita MIPI,8(2) 1964:73-83;
Prijono. Indonesian names and titles. Indonesian Review, 2(1) 1955:1-15
Pendit, Murtini S. Berita MIPI
Perguruan tinggi di Indonesia. Djakarta: Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan,1965
Putu Laxman Pendit,. Ragam teori informasi. Jakarta: PDII LIPI, 2006. Tidak diterbitkan
Rungkat, Thelma. Educationand training for librarianship in Indonesia, 1954-1984; with a supplemntaru schapter Educating and training the Indonesian library workforce, 1985-1996 by Thelma Rungkat and Zulfikar Zen. Melbourne:Ancora Press,1997.
Soemarsidik, Soewati. Indonesian school of librarianship has 104 students. Malayan Library Journal, 1, 1961:27-8
Standar Nasional Indonesia. Perpustakaan perguruan tinggi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional,2009.Pasal 8.1. menyatakan kepala perpustakaan adalah tenaga perpustakaan berpendidikan sekurang-kurangnya magister di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.
Sulistyo-Basuki. Greater subject access to Dewey Decimal Classification’s notation, with special reference to  Indonesia’s geography, period and language notations. IFLA 2007, Durban, Afrika Selatan
Sulistyo-Basuki. Political reformation and its impact on library and information science edutaion and practice: A case study of Indonesia during and post-presiden Soeharto administration. Paper presented at the Proceedings of the Asia-Pacific Conference on Librarty & Information Education & Practice 2006 (A-LIEP 2006), Singapore.
Sulistyo-Basuki. Periodisasi perpustakaan Indonesia. Bandung:Remadja  Rosdakarya,1992.
Sulistyo-Basuki. Sejarah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional,2007. Tidak diterbitkan.


Share on Google Plus

About Penjara Ilmu

0 komentar:

Post a Comment