kearsipan



PERAN LEMBAGA KEARSIPAN SEBAGAI PENYEDIA INFORMASI
DI ERA OTONOMI DAERAH
(Makalah disampaikan dalam Seminar “Lembaga Kearsipan dalam Perspektif Otonomi Daerah” di BAPEDALDA Propinsi DIY tanggal 10 November 2001)
(Machmoed Effendhie)
A. PENGANTAR
Sebuah ungkapan yang sering dikutip agaknya perlu dikutip kembali secara lebih lengkap. Mantan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, dalam kata sambutan peluncuran buku “ANRI dalam gerak langkah 50 tahun Indonesia Merdeka”, menyatakan bahwa “Tanpa arsip, suatu bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif dan akan terperangkap dalam kekinian yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, tidaklah akan terlalu keliru jika dikatakan bahwa kondisi kearsipan nasional suatu bangsa dapat dijadikan indikasi dari kekukuhan semangat kebangsaannya. Tidaklah dapat disangkal, bahwa masih banyak yang harus kita lakukan untuk menyempurnakan arsip nasional kita , baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.” (ANRI, 1996: vii).
Ungkapan tersebut agaknya masih sangat relevan untuk bahan renungan kembali terutama dalam mengkritisi perkembangan dan kondisi kearsipan di Indonesia di era Otonomi Daerah saat ini. Beberapa pertanyaan perlu dilontarkan:
sudah semakin meningkatkah atau sebaliknya apresiasi dan pemahaman kearsipan para pengambil keputusan di daerah. Hal tersebut menjadi penting karena akan berpengaruh luas terhadap, misalnya, eksistensi Lembaga-Lembaga Kearsipan di Daerah, pengahargaan terhadap profesi Kearsipan, Citra arsip dan penataan pegawai profesional arsip, dll. Begitu juga pertanyaan apakah amanat UU Nomor 7 tahun 1971 (Ketentuan-Ketentuan pokok Kearsipan) dan PP nomor 34 tahun 1979 (Penyusutan arsip) sudah betul-betul dilaksanakan atau justru — meminjam istilah Tidor Arif T. Djati — terjadi anarki penyelenggaraan kearsipan di organisasi pemerintah (Tidor, 1999: 15). Semuanya itu akhirnya akan bermuara pada satu pertanyaan mendasar apakah kita, sebagai satu bangsa, sudah terkena sindrom amnesia kolektif ketika, misalnya, anak bangsa menanyakan keberadaan surat perintah atau surat-surat penting lainnya mengalami kebingungan.
Makalah kecil ini, tentu saja tidak akan menyinggung persoalan-persoalan tersebut tetapi lebih diarahkan pada peran Lembaga Kearsipan di daerah pada Era Otonomi sekarang ini. Persoalan segera muncul ketika panitia menyodorkan tema tersebut. Apakah cukup adil membicarakan “Lembaga Kearsipan” diwakili oleh lembaga formal saja, sementara di DIY sudah berdiri lembaga kearsipan non-formal. Untuk mengakomodasikan “semua pihak” kedua lembaga formal dan non-formal akan disinggung sekalipun porsinya berbeda. Fokus bahasan akan diarahkan pada Manajemen Arsip Statis (Archives Management) karena hal tersebut merupakan kewenangan dan peran baru bagi lembaga kearsipan formal baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Fungsi penting dalam Manajemen Arsip Statis adalah layanan publik berupa layanan informasi dan penerbitan sumber arsip. Sementara itu, lembaga kearsipan non-formal bergerak dalam layanan konsultan dan layanan teknis termasuk layanan off-side document.
B. OTONOMI DAERAH DAN LEMBAGA KEARSIPAN
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 tentang pembagian wilayah Republik Indonesia merupakan landasan konstitusional otonomi daerah. Semula pelaksanaannya ditetapkan dengan Undang Undang nomor 5 tahun 1974 dan kemudian digantikan melalui Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam perspektif kedua Undang-Undang tersebut, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan mengalami pergeseran yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Hal itu terlihat dari berkurangnya kewenangan Pemerintah pusat dalam semua bidang kecuali bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Peradilan, Moneter dan Fiskal, dan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22/1999. Tentu saja Otonomi Daerah ini harus dilihat sebagai penghargaan atas kebhinekaan dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberlakuan Undang Undang tersebut membawa konsekuensi terhadap eksistensi suatu lembaga. Struktur dan format kelembagaan di tiap-tiap daerah mengalami perubahan mengikuti semangat otonomi yang diamanatkan Undang Undang tersebut. Likuidasi instansi vertikal di daerah menjadi perangkat daerah diatur dalam ketentuan pasal 129 ayat (2), kecuali yang diatur dalam pasal 7 ayat (1). Instansi vertikal Arsip Nasional Wilayah di beberapa daerah propinsi juga mengalami likuidasi. Personil, gedung, dan peralatannya digabung dengan Lembaga Arsip daerah (Kantor Arsip daerah). Dalam Pasal 129 ayat (2), pasal 17 ayat (2) PP 84 tahun 2000, Keputusan Mendagri dan Otda nomor 50 tahun 2000, lembaga kearsipan sebagai perangkat daerah di propinsi berupa Badan dengan Eselon II/a, sedangkan di Kabupaten/Kota berupa Kantor dengan Eselon III/a.
Di Jawa barat, Lembaga Kearsipan Propinsi tetap mempertahankan nomenklatur Kantor Arsip Daerah sementara di Jawa Tengah menjadi Badan Arsip Daerah (Badan Arda), dan di Jawa Timur menjadi Badan Arsip daerah (BADAR). Lembaga Kearsipan di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi Badan Kearsipan dan Perpustakaan Daerah sementara Kabupaten Bantul tetap mempertahankan nama Kantor Arsip Daerah dan kabupaten Sleman menjadi Kantor Data Elektronik, Arsip dan Perpustakaan.
Masing-masing lembaga kearsipan baik ditingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang secara lengkap dirumuskan sebagai berikut: Kewenangan Kearsipan Pemerintah Pusat adalah (1) Menetapkan kebijakan dan perumusan peraturan perundang-undangan kearsipan; (2) Penyelenggaraan program penilaian dan akuisisi arsip statis, pengolahan, preservasi serta pemanfaatan arsip statis sebagai sumber informasi; (3) Penyelenggaraan pengolahan data dan pelayanan informasi arsip statis; (4) Pengendalian terhadap usaha penyelamatan dan pelestarian arsip statis sebagai sumber informasi; (5) Penyelenggaraan koordinasi di bidang pembinaan pengelolaan arsip statis dalam rangka pembentukan jaringan informasi arsip secara nasional; (6) Penyelenggaraan kerja sama dengan instansi lain baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka penyelamatan serta pemanfaatan arsip statis; (7) Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia kearsipan serta pemansyarakatan kearsipan; (8) Penelitian, pengkajian dan pengembangan sistem dan peralatan kearsipan nasional; (9) Penetapan pedoman dan standar sistem dan peralatan kearsipan nasional; (10) Pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kearsipan nasional; (11) Penyelenggaraan kerja sama dengan instansi lain baik di dalam dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan sistem kearsipan nasional; (12) Penetapan penilaian angka kredit arsiparis di instansi pusat; dan (13) Pemberian persetujuan Jadwal Retensi Arsip.
Sementara itu, kewenangan kearsipan daerah propinsi adalah (1) Pelaksanaan kebijakan pembinaan kearsipan pemerintah daerah propinsi yang sejalan dengan kebijakan kearsipan nasional; (2) Penyelenggaraan penarikan arsip serta pengolahan arsip inaktif yang diserahkan oleh perangkat pemerintah darah propinsi; (3) Penyelenggaraan penilaian dan akuisisi serta pengolahan arsip statis pemerintah daerah Propinsi, Badan Usaha Milik Daerah, Instansi vertikal, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi politik, organisasi profesi, LSM, perusahaan swasta dan perorangan yang ada di wilayah propinsi, serta instansi vertikal kabupaten/Kota; (4) Penyelenggaraan pelestarian, pemeliharaan dan pengamanan arsip statis yang telah diserahkan untuk dapat digunakan bagi kegiatan pemerintah, penelitian dan kepentingan masyarakat; (5) Pemberian layanan peminjaman arsip inaktif untuk kepentingan pemerintah daerah propinsi; (6) Pemberian layanan informasi arsip statis dan penggunaan naskah sumber arsip; (7) Penyelenggaraan pembinaan sumber daya manusia kearsipan serta penyelenggaraan pemasyarakatan dan penyuluhan kearsipan unit-unit kearsipan perangkat pemerintah daerah propinsi; (8) Penetapan penilaian angka kredit arsiparis di lingkungan daerah propinsi; (9) Pemberian layanan jasa teknik kearsipan kepada instansi/lembaga yang membutuhkan; (10) Pemberian persetujuan Jadwal Retensi Arsip dan pemusnahan arsip instansi pemerintah propinsi; (11) Pelaksanaan penyerahan arsip statis dari propinsi ke arsip Nasional RI yang menyangkut kepentingan lebih dari satu propinsi.
Adapun kewenangan kearsipan daerah kabupaten/kota adalah (1) Pelaksanaan kebijakan pembinaan keasipan pemerintah daerah kabupaten/kota yang sejalan dengan kebijakan kearsipan daerah propinsi dan Nasional; (2) Penyelenggaraan penarikan arsip serta pengolahan arsip inaktif yang diserahkan oleh perangkat pemerintah Daerah kabupaten/Kota; (3) Penyelenggaraan penilaian dan akuisisi serta pengolahan arsip statis pemerintah Daerah kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Daerah, Organisasi politik, organisasi prodesi, LSM, Perusahaan swasta dan perorangan yang ada di wilayah kabupaten/kota; (4) Penyelenggaraan, pelestarian, pemeliharaan dan pengamanan arsip statis yang diserahkan untuk dapat digunakan bagi kegiatan pemerintah, penelitian, dan kepentingan masyarakat; (5) Pemberian layanan peminjaman arsip inaktif untuk kepentingan pemerintah daerah kabupaten/kota; (6) Pemberian layanan informasi arsip statis dan penggunaan naskah sumber arsip; (7) Penyelenggaraan pembinaan sumber daya manusia kearsipan serta penyelenggaraan pemasyarakatan dan penyuluhan kearsipan unit-unit kearsipan perangkat pemerintah daerah kabupaten/kota; (8) Penetapan penilaian angka kredit arsiparis di lingkungan daerah Kabupaten/kota; (9) Pemberian layanan jasa teknis kearsipan kepada instansi/lembaga yang membutuhkan; (10) Pemberian persetujuan Jadwal Retensi Arsip dan Pemusnahan di instansi pemerintah daerah kabupaten/kota; (11) Palaksanaan penyerahan arsip statis dari kabupaten/kota ke lembaga kearsipan di daerah propinsi yang menyangkut kepentingan lebih dari satu kabupaten/kota. (Triyuni Soemartono, 2001: 4-7)

Share on Google Plus

About Penjara Ilmu

0 komentar:

Post a Comment